Pemburu Beasiswa yang
Penakut
Pernahkah anda membaca
cerita-cerita penerima beasiswa Oversea
(Luar Negeri) yang membanggakan? Ataukah sekedar cerita kekecewaan pemburu
beasiswa yang berkali-kali gagal? Atau mungkin saja cerita pemburu baru yang
belum berpengalaman? Sekarang, saatnya anda tersesat dalam cerita saya yang
membongkar habis seorang penakut yang ingin menjadi pahlawan dengan tombak di
tangannya. Terdengar ngeri, tapi cukup mengundang tawa kecil dengan kata
“penakut”.
Tak heran memang, jika suatu saat
anda melihat seorang demonstran yang menggebu-gebu menentang Ahok, tapi berada
di barisan paling belakang. Atau seorang aktivis media sosial yang menulis
banyak hinaan tapi menangis di pengadilan saat dilaporkan Pak Jokowi. Ada lagi
yang sengaja mencantumkan “anonymous”
saat ikut-ikutan membuat meme untuk
Haji Lulung. Karakter-karakter yang selayaknya dianggap berkarakteristik gentle, tapi spontan di luar dugaan.
Tak jauh beda dengan pemburu
beasiswa yang penakut. Untuk hal
satu ini, saya jelas-jelas berani mencetak tebal kata “penakut” untuk seorang kurang
pemberani seperti saya. Bayangan mengambil Master di luar negeri sangatlah mengerikan
bagi gadis desa yang tiap hari diam di kamar dan depan televisi itu. Namun,
mimpinya yang besar membuatnya berangan-angan menaiki tangga pesawat sambil
berkata “Bye Indonesia”, masuk gedung opera di Sydney, berlari-lari riang di
atas salju, berdiskusi dengan Dr. Kohler (Supervisor impiannya), menulis dailydiary seperti tulisan salah satu
peraih beasiswa AAS, “74 Crown Street,
Wollongong, 21 February 2012”. Kelihatannya memang tak semenarik yang orang
lain bayangkan, tapi kepuasaan orang terletak pada hal yang berbeda-beda.
Awalnya saya jauh lebih takut
dari sekarang. Menurut saya,tingkat ketakutan saya berkurang 35 % dari 85%,
jadi tinggal dihitung saja sisa ketakutannya. Yapss, tepat sekali 50%.Entah
faktor apa yang dapat menguranginya. Yang jelas, saya rajin membaca cerita Pak
Andi di buku beliau “Berguru ke Negeri Kangguru”, sering juga memikirkan “Akankah terus menjadi
guru honorer?”, tak jarang juga membayangkan “Lulusan luar negeri pasti lebih
diperhitungkan”.Hal-hal kecil seperti itu terkadang menciptakan energi positif
bagi seorang penakut yang bermimpi besar.
Tak jarang juga, teman-teman masih
saja ada yang menganggap saya ahli dalam bidang beasiswa dan saudara-saudaranya
(TOEFL, Essay, References, dll). Mereka sengaja mencari tahu hal-hal tersebut
dengan memulai chat“Apa kabar?” atau
sekedar bertanya “lagi ngapain?”, atau ada juga yang langsung to the point. Dan semuanya diakhiri
dengan kata-kata “Keep in touch yah..”. Dari
situ kadang saya merasa heran, tiba-tiba saya menjadi penasehat amatir dengan
julukan “Kakak Senior” oleh teman-teman saya (untungnya bukan kakak pertama).
Dari situ kadang saya juga berfikir keras, “apply beasiswa baru mau 3 kali
dengan 2 kali telah gagal, test TOEFL juga baru 4 kali ini, bikin essay juga masih
kacau balau, reference juga udah ada format yang tersedia” nyatanya saya tidak
lebih baik dari anggapannya. Mereka mungkin tidak tahu ketika mereka bertanya blah blah blah tentang beasiswa, atau
curhat ketakutannya mencoba test TOEFL, terkadang saya menjawab dengan rasa
yang sama seperti mereka. Tetapi saya lebih pandai menyembunyikannya. Terlebih
lagi, saya juga sering mengajak siapapun untuk apply beasiswa dan mengikuti test
TOEFL bersama. Dengan alasan supaya saya
ada teman di luar negeri jika lolos beasiswa nantinya (bilang aja TAKUT).
Secara logika, pemburu beasiswa mana yang tak takut jika pesaingnya bertambah,
maka hal paling bodoh adalah saat membuka peluang bagi yang lain dengan cara
mengajaknya. Itu artinya, dengan perbandingan awal 1:10 akan menjadi 1:11 jika
ada satu orang yang tertarik mendaftar. Hal itu juga akan mempersempit peluang
dalam shortlist. Rasa takut menurut
logika mungkin saja ada, namun hal yang terbesit dalam diri saya “Kalau udah
rizki pasti gak akan kemana”.
Lain lagi dengan ibu saya yang tak
tahu TOEFL itu apa, essay itu apa, Master by research itu apa, bagaimana proses
pendaftarannya,tetapi selalu mendukung penuh anaknya meraih beasiswa Oversea. Namun suatu hari beliau
mengetuk kembali ketakutan yang pura-pura saya pendam. Tiba-tiba tercetus
kata-kata ibu, “Masuk angin aja nangis, kayak gitu mau ke luar negeri”. Saya
hanya tertawa, bukan hinaan atau cemoohan yang ibu lontarkan sebenarnya. Tapi sebuah
ketakutan dan kekhawatiran dibalik dukungannya yang luar biasa. Rupanya ibu
juga pandai menyembunyikan ketakutan itu. Seharusnya saya menambahkan judul di
artikel ini menjadi “Ibu dan Pemburu Beasiswa yang Penakut”. LOL... Tapi saya
selalu ingat, Kenyataan itu tidak lebih
buruk dari bayangan.
Diri sayapun merasa puas setelah
saya benar-benar berhasil menyatakan siapakah seorang penakut di artikel ini. Menyindir
diri sendiri terkadang menjadi cara terbaik untuk memotivasi diri. Inilah yang
sedang saya rasakan, “Less Motivated”. Jika anda mempunyai cerita yang sama
dengan saya, bersiaplah untuk termotivasi bukan tersindir.
Thanks for reading :)
Menarik Mba, rasanya ada garis merah yang hilang...setidaknya komunikasi dan bergaul dengan siapa sehingga mengurangi takut 50 %
BalasHapusTerimakasih sudah menyempatkan membaca :)
HapusSaya rasa harus sharing langsung dengan alumni peraih beasiswa..
Ya, Mba ...ternyata ternyata kita perlu banyak tukar fikiran dengan orang yg befikir positif dan berpengalaman di bidangnya...dan jangan hiraukan meteka yg pesimis Dan tidak pernah mau mencoba...? ..hayoo nulis lagi Mba ..saya tunggu
BalasHapusIya, insyllaah tidak.. walaupun kadang saya juga psimis. wah jadi mas mau subcribe baca tulisan aku nih... makasi makasi :D
BalasHapusgood sista
BalasHapusThank u for reading brotha :)
Hapus