Kala dulu masih inget aja waktu
guruku dengan semangatnya ngajarin rumus-rumus pembentuk kalimat bahasa inggris
yang sempurna. Dari simple present, present continous, simple past, past
continous, simple future, dan apalah itu yang katanya ada sekitar 17 tenses
dalam bahasa inggris (Udah agak lupa sekarang :D). Aku si dulu mati-matian ngehafalin
semuanya (tapi sekarang masih idup tuh.. :p), karna emang pikirku bahasa
inggris itu identik dengan formula yang aku paksain simple tapi benernya rumit kalo
diterapin (menurutku). Untungnya, guruku banyak akal. Sampek-sampek mereka nyari
trik khusus biar murid-murid gampang ngingetnya. Kayak yang ini nih (AYU DEWI
SI HITAM) plesetan buat nginget 7 subject dalam bahasa inggris (I, YOU, THEY,
WE, SHE, HE, IT). Tapi emang bener, plesetan zaman sekolah itu masih nempel aja
di otak sampek aku udah lulus S1. Guru yang kreatif kayak gitu emang masih
gampang diinget, gak cuma guru nya tapi juga pelajarannya lo (iya kan...). Big
appreciation for them J.
Ehh, kita ngomong agak serius dikit yuk. ehem.. eheemm...
Bicara tentang fakta pembelajaran
Bahasa Inggris saat ini, persepsi dan aplikasi sebagian guru Bahasa Inggris di
Indonesia ternyata berbeda. Mereka menganggap tenses-tenses itulah akar yang
mendasari pembelajaran Bahasa Inggris. Yahh.. itulah fakta yang sudah memfosil.
Sehingga ada yang berpendapat bahwa pengetahuan tenses orang Indonesia lebih
baik daripada native speaker (ko bisa ya...>mikir keras<). Tetapi hanya
pengetahuan tensesnya saja, tidak untuk yang lainnya (ya iya donk, pasti.. :p).
Berdasarkan pengalaman, peserta didik menjadi sungkan bahkan takut bercakap
bahasa inggris karna terbayangi oleh rumus-rumus yang mengikat mereka. Alhasil,
mereka hanya mahir dalam theory tetapi nol dalam practice. Artinya, telah terjadi
misapplication dalam hal ini khususnya dalam proses pembelajaran bahasa inggris
di kelas. Sebenarnya sudah banyak yang mengetahui 4 skill utama dalam bahasa
inggris (Listening, Speaking, Reading, dan Writing), sedangkan grammar dan
vocabulary hanya sebagai pelengkap atau complement. Urutan skill yang demikian
itu dapat dijadikan pedoman tepat dalam pembelajaran bahasa inggris. Listening
menjadi skill paling pertama dan utama dalam mempelajari bahasa asing. Kemudian
diikuti skill-skill yang lainnya dan didukung dengan penguasaan struktur dan
kosakata. Seorang peserta didik yang sedang belajar bahasa asing dapat
dianalogikan dengan seorang bayi yang baru saja lahir. Ibu mereka tidak
langsung mengajari cara-cara membuat kalimat yang benar. Tetapi dengan cara
mengucapkan kalimat sederhana, sang bayi akan terbiasa mendengar dan menjadi
bisa menirukan. Anggapan yang selama ini kurang tepat, dimana bahasa inggris
yang selalu disamakan dengan fisika, kimia, dan matematika. Bahasa inggris
layaknya bahasa yang bisa dikuasai karena adanya pembiasaan bukan pengetahuan
yang terus menerus. English is habit, not science. Isn’t it?.
Dalam hal ini, tidak mengklaim
bahwa mengajarkan tenses dalam proses belajar mengajar itu salah total, akan
tetapi harus dibarengi dengan practice-practice yang mendukung peserta didik
untuk menyadari hakikat bahasa yang sebenarnya. Bahasa yang menjadi alat
komunikasi akan dianggap berkualitas jika lawan bicara kita “ngerti sama
ngerti” walaupun terkadang masih ada kesalahan dalam struktur kalimat. Yang
terpenting adalah peserta didik berani berbicara bahasa inggris terlebih
dahulu, sedangkan grammar secara tidak langsung akan mengikuti. Hal tersebut
dapat diterapkan dengan mengubah persepsi peserta didik bahwa ‘English is not
like a scientific communication, but it is a habitual communication.’ Thanks
lot J....
(written on October 13, 2014, at 21:13 p.m by Eka Pra Setiyawati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar