Jika berbicara tentang profesi, banyak yang bilang “Guru”
adalah profesi yang jarang sekali dicita-citakan. Mengapa begitu? Yahh...
bagaimana tidak. Seorang guru identik dengan pendapatan yang minim dan
pengorbanan yang maksim. Bahkan, anak-anak yang belum berumur pun sudah
menghindari profesi itu ketika orang lain bertanya “Kalo gede pengen jadi apa,
nak?”, dengan sigapnya mereka menjawab “Dokter, Polisi, Tentara, Pilot, and blah blah blah”. Dan yang
mencengangkan, ada yang bilang “pengen jadi artis”. Kata-kata yang nothing to lose (polos) itu muncul dari
anggapan mereka bahwa profesi yang keren adalah profesi yang banyak duitnya.
Ohh no...!
Padahal, siapakah yang mengira? Di balik sosoknya yang kadang
kurang disukai, guru selalu bersabar ketika penjelasannya menjadi dongeng
sebelum tidur, berlapang dada ketika ucapan anehnya sering ditirukan, berhati
mulia ketika tegurannya tak diindahkan, dan berhati lapang ketika penampilannya
sering dikomentari. Sungguh miris sekali, sudut kecil dari seorang guru yang
kadang jarang kita perhatikan. Lalu, kerenkah seorang guru? Pasti keren dong,
karna penulis artikel ini berprofesi sebagai guru. Hiks...
Disini bukan semata-mata karna saya menjadi tokoh utama di
artikel ini, lantas saya membela keprofesiannya. Bukan. Tapi memang kenyataan
tak membohongi. Saya rasa kawan-kawan satu profesi pernah mengalami hal yang
sama. Tapi untungnya saya tidak sepenuhnya (Maaf.. sedikit mengelak), saya
hanya mengamati murid-murid yang kebetulan melakukan apa yang saya tuliskan di
paragraf kedua di atas.
Hanya saja, mereka kurang menyadari. Dari siapa mereka mampu
mengeja “ulal” menjadi “ular”?. Lalu, dari siapa pula mereka mampu membaca “Ini
ibu Budi”?. Dan, dari siapa juga mereka mengetahui bahwa bumi itu berputar pada
porosnya?. Jika jawabannya bukan dari
seorang guru, mungkin memang itu sebuah kenistaan.
Well, di dunia pendidikan yang katanya
saat ini sudah mulai sejahtera, ternyata masih banyak juga kesejahteraan guru
yang belum tersejahterakan. Padahal, guru-gurupun sudah merendahkan hati
melalui kata-kata “pahlawan tanpa tanda jasa”. Yang tak ingin disebut
berjasapun, juga ingin hidup selayaknya sejahtera. Sejahtera sekali dengan upah
6500 per jam dan keluar selama 3 bulan sekali. Saking sejahteranya, terkadang
tercletus kata-kata “Guru dibayar murah
untuk memperbaiki akhlak dan karakter anak bangsa, sedangkan artis dibayar
mahal untuk merusak akhlak anak bangsa”. Tapi sayang, sindiran itu tidak
terlalu peka. Dalam hal ini, seorang guru memang layak disebut keren.
Lain lagi dengan guru muda yang harus kehilangan pacarnya
akibat muncul meme-meme yang
mengundang keminderan dan kecemburuan, seperti “menantu idaman itu pegawai bank”, “bidan = bidadari idaman”, “dokter
adalah idola para polisi”, dan “99%
perawat itu setia” . Kejombloan yang lama pun terjadi. Tapi mereka tetap
keren, bertambah keren lagi setelah mereka membalas sengit meme tersebut dengan “Guru
aja sabar ngadepin murid-muridnya yang nakal, apalagi ngadepin kamu yang suka
nakalin banyak wanita”. Alhasil, banyak lelaki yang kebingungan memilih
pasangan hidup. Gkgk...
Anda boleh tertawa membacanya, karna tulisan-tulisan di atas
hanyalah fiksi belaka. Namun, jika di antara anda ada yang menganggap
sebaliknya, itupun sesuai harapan saya. Lebih berharap lagi jika Pak Anis
Baswedan berkenan menyerapi artikel ini. Kami para pendidik hanya tak enak hati
datang ke kantor beliau pada “hari buruh internasional”, upps salah maksud saya
“hari pendidikan nasional” yang diperingati beberapa hari yang lalu. Maaf, saking
easy going nya, terkadang sering
salah sebut antara guru dengan buruh. Thanks for reading. :)
Humsss ...enak yah dibacanya...isinya juga bagus tuh...yang nulisnya merasa enak gak menjadi guru???. Semoga setelah ini merasa enak menjadi gurunya guru atau mungkin lebih jauh menjadi pengganti Pak Anis Baswedan...who knows...ya kan?.
BalasHapusAmiin... makasi sudah mampir :)
BalasHapus