Cited from my book "Guru Madrasah di TESOL Asia"
Setiap pertemuan dengan
seseorang seakan membawa pelajaran berharga bagi saya. Berbagai cerita dari
teman-teman sesama presenter konferensi TESOL Asia membuat saya iri dan lebih
termotivasi. Saya akui, saya hanyalah seorang guru biasa dengan pengalaman dan
kemampuan yang biasa-biasa saja. Keheranan saya pasti muncul saat saya bertemu
orang-orang luar biasa yang dulunya biasa-biasa saja seperti saya. Tahapan yang
harus saya lalui sebelum benar-benar menjadi luar biasa seperti mereka.
Motivasi itu muncul setelah
sholat dhuhur berjamaah bersama para rekan wanita dari Indonesia. Mereka yang
semuanya dosen dari berbagai daerah seperti Padang, Makassar, Kalimantan, dan
Semarang, membagikan cerita hidupnya kepada seorang junior seperti saya.
Berawal dari sebuah perkenalan
dengan seorang wanita cantik dari Padang. Mukenah beliau yang saya pinjam,
membuat saya ingin bertanya asal dan nama beliau. Wulan Fauzanna, seorang dosen
Universitas Andalas yang juga mempresentasikan hasil penelitiannya di Tesol
Asia. Perkenalan ringan dengan beliaupun berlanjut ke sebuah cerita lampau yang
membanggakan.
Tahun 2004, beliau menerima
kabar bahagia dari salah satu penyelenggara beasiswa luar negeri Australia
Awards Scholarship (AAS). Berita mengejutkan saat pertama kalinya beliau
mendaftar dan pertama kalinya juga beliau dinyatakan sebagai awardee (sebutan peraih
beasiswa AAS). Setelah satu tahun menerima gelar Sarjana Sastra Bahasa Inggris
dari Universitas Andalas dan mendapat jabatan Pegawai Negeri Sipil di Universitas
tersebut, saat itu juga beliau berinisiatif mencari beasiswa Master di
Australia. Setelah mencapai nilai IELTS yang mencukupi dan selesai mengikuti Pre-course, beliau menyiapkan
keberangkatannya ke Monash University. Sebelum berangkat, orang tua beliau
meminta agar beliau menikah dahulu dengan seorang laki-laki yang melamarnya.
Calon suami yang juga pemburu beasiswa, akan menempuh pendidikan Master di
Jepang pada tahun yang sama. Pernikahan mereka dilaksanakan, dan beberapa bulan
setelah menikah mereka terpaksa berpisah sementara ke negara tujuan
masing-masing. Di sela liburan musim panas, beliau berniat berlibur ke Jepang
menjemput suaminya. Saat pulang kembali ke Australia, tak disangka beliau
mengandung dan melahirkan anak pertamanya di Australia. Alhasil, beliau pulang
dengan gelar Master of English as International Language dan seorang anak
laki-laki yang tampan.
Mendengar cerita beliau,
rasanya saya juga ingin mengalaminya. Sayapun juga mengadukan pada beliau bahwa
saya sudah 2 kali mendaftar beasiswa yang sama dengan beliau. Tanpa sungkan,
beliau terus memotivasi saya untuk tidak menyerah. Apalagi, konferensi
internasional seperti itu akan menjadi perhatian khusus dalam proses seleksi
bagi penyelenggara beasiswa. Pertanyaan saya terus mengalir tentang bagaimana
saat beliau test wawancara, bagaimana kehidupan di Australia, bagaimana
pendidikannya, bagaimana makanannya, dan banyak sekali. Di perpisahan kami,
sayapun diberi kartu nama oleh beliau sebagai bukti perkenalan.
Cerita dari peraih beasiswa
lainnya datang dari seorang mahasiswi yang sedang menempuh Master di Inggris
melalui beasiswa LPDP. Junita Duwi Purwandari, seorang peraih beasiswa yang
mengambil jurusan MA in Applied Linguistics and TESOL di Newcastle University.
Biaya konferensi TESOL itu ditanggung penuh oleh penyelenggara beasiswa sebagai
salah satu biaya yang harus dicover
saat menempuh pendidikan. Beliau mengaku, Master by Coursework yang sedang
beliau tempuh akan segera selesai. Master by Coursework adalah program Pasca
Sarjana yang tidak mewajibkan mahasiswanya mengambil Thesis di akhir masa study dan program itu dapat ditempuh
selama 1 tahun. Obrolan singkat kami di jalan setelah sholat Dhuhur bersama itu
terhenti saat konferensi kembali dimulai.
Motivasi lainnya datang dari
Professor Bambang Setiyadi, seorang guru besar Universitas Lampung. Saya yang
kerap mendengar namanya, baru menatap wajah beliau saat berangkat bersama ke
Filipina. Cara berpikir beliau yang luar biasa dapat diadopsi bagi semua orang
yang percaya pada perjuangan. Master beliau yang diperoleh dari Amerika melalui
beasiswa, berlanjut dengan Ph.D beliau yang juga dibiayai penuh oleh pemerintah
melalui Beasiswa Dikti di La Trobe University. Bahkan, beliau menularkan semangatnya
pada saya saat beliau bercerita IELTS bukanlah syarat mutlak lulus beasiswa.
Pengalaman beliau dengan beribu karya tulis yang memenuhi CV beliau, seakan
membutakan universitas-universitas luar negeri untuk memberikan LoA nya
walaupun tanpa sertifikat IELTS. Professor yang selalu bersemangat menceritakan
perjuangannya itu membuat saya speechless
dengan apa yang beliau bicarakan.
Cerita berikutnya datang dari
sepasang suami istri yang luar biasa, Buk Yanuarti dan Pak Saefurrohman.
Perkenalan kami di bis Site Skill Training membawa saya untuk lebih menghargai
perjuangan. Pak Saefurrohman, seorang dosen Universitas Muhammadiyah Purwokerto
dengan senangnya menjadi peraih beasiswa pada tahun 2013 di Angeles University
Foundation (AUF) Filipina. Beliau dibiayai penuh oleh Dikti untuk menempuh
Doctor di universitas tersebut. Diperkenankannya keluarga untuk dibawa, membuat
beliau berniat mengajak istri dan anak-anaknya ke Filipina. Namun, anak-anak
beliau terpaksa dikembalikan ke Indonesia agar tidak menganggu pendidikan
mereka. Istri beliau, Buk Yanuarti berniat hanya menemani suaminya di negara
orang setelah 8 tahun lulus dari bangku Sarjana. Namun, atas inisiatif dan
motivasi suaminya yang luar biasa, beliau dikuliahkan oleh suaminya menggunakan
biaya Dikti yang setiap bulan diterimanya. Alhasil, setelah 3 tahun di Filipina
mereka pulang ke Indonesia dengan masing-masing membawa gelar Doctor dan Master
dari Universitas yang sama, Angeles University Foundation (AUF).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar