Selamat Datang bagi Anda yang Percaya pada Perjuangan

Selasa, 10 Maret 2015

A Hidden Fact



Pemburu Beasiswa yang Penakut

Pernahkah anda membaca cerita-cerita penerima beasiswa Oversea (Luar Negeri) yang membanggakan? Ataukah sekedar cerita kekecewaan pemburu beasiswa yang berkali-kali gagal? Atau mungkin saja cerita pemburu baru yang belum berpengalaman? Sekarang, saatnya anda tersesat dalam cerita saya yang membongkar habis seorang penakut yang ingin menjadi pahlawan dengan tombak di tangannya. Terdengar ngeri, tapi cukup mengundang tawa kecil dengan kata “penakut”.
Tak heran memang, jika suatu saat anda melihat seorang demonstran yang menggebu-gebu menentang Ahok, tapi berada di barisan paling belakang. Atau seorang aktivis media sosial yang menulis banyak hinaan tapi menangis di pengadilan saat dilaporkan Pak Jokowi. Ada lagi yang sengaja mencantumkan “anonymous” saat ikut-ikutan membuat meme untuk Haji Lulung. Karakter-karakter yang selayaknya dianggap berkarakteristik gentle, tapi spontan di luar dugaan.
Tak jauh beda dengan pemburu beasiswa yang penakut. Untuk hal satu ini, saya jelas-jelas berani mencetak tebal kata “penakut” untuk seorang kurang pemberani seperti saya. Bayangan mengambil Master di luar negeri sangatlah mengerikan bagi gadis desa yang tiap hari diam di kamar dan depan televisi itu. Namun, mimpinya yang besar membuatnya berangan-angan menaiki tangga pesawat sambil berkata “Bye Indonesia”, masuk gedung opera di Sydney, berlari-lari riang di atas salju, berdiskusi dengan Dr. Kohler (Supervisor impiannya), menulis dailydiary seperti tulisan salah satu peraih beasiswa AAS, “74 Crown Street, Wollongong, 21 February 2012”. Kelihatannya memang tak semenarik yang orang lain bayangkan, tapi kepuasaan orang terletak pada hal yang berbeda-beda.
Awalnya saya jauh lebih takut dari sekarang. Menurut saya,tingkat ketakutan saya berkurang 35 % dari 85%, jadi tinggal dihitung saja sisa ketakutannya. Yapss, tepat sekali 50%.Entah faktor apa yang dapat menguranginya. Yang jelas, saya rajin membaca cerita Pak Andi di buku beliau “Berguru ke Negeri Kangguru”,  sering juga memikirkan “Akankah terus menjadi guru honorer?”, tak jarang juga membayangkan “Lulusan luar negeri pasti lebih diperhitungkan”.Hal-hal kecil seperti itu terkadang menciptakan energi positif bagi seorang penakut yang bermimpi besar.
Tak jarang juga, teman-teman masih saja ada yang menganggap saya ahli dalam bidang beasiswa dan saudara-saudaranya (TOEFL, Essay, References, dll). Mereka sengaja mencari tahu hal-hal tersebut dengan memulai chat“Apa kabar?” atau sekedar bertanya “lagi ngapain?”, atau ada juga yang langsung to the point. Dan semuanya diakhiri dengan kata-kata “Keep in touch yah..”. Dari situ kadang saya merasa heran, tiba-tiba saya menjadi penasehat amatir dengan julukan “Kakak Senior” oleh teman-teman saya (untungnya bukan kakak pertama). Dari situ kadang saya juga berfikir keras, “apply beasiswa baru mau 3 kali dengan 2 kali telah gagal, test TOEFL juga baru 4 kali ini, bikin essay juga masih kacau balau, reference juga udah ada format yang tersedia” nyatanya saya tidak lebih baik dari anggapannya. Mereka mungkin tidak tahu ketika mereka bertanya blah blah blah tentang beasiswa, atau curhat ketakutannya mencoba test TOEFL, terkadang saya menjawab dengan rasa yang sama seperti mereka. Tetapi saya lebih pandai menyembunyikannya. Terlebih lagi, saya juga sering mengajak siapapun untuk apply beasiswa dan mengikuti test TOEFL  bersama. Dengan alasan supaya saya ada teman di luar negeri jika lolos beasiswa nantinya (bilang aja TAKUT). Secara logika, pemburu beasiswa mana yang tak takut jika pesaingnya bertambah, maka hal paling bodoh adalah saat membuka peluang bagi yang lain dengan cara mengajaknya. Itu artinya, dengan perbandingan awal 1:10 akan menjadi 1:11 jika ada satu orang yang tertarik mendaftar. Hal itu juga akan mempersempit peluang dalam shortlist. Rasa takut menurut logika mungkin saja ada, namun hal yang terbesit dalam diri saya “Kalau udah rizki pasti gak akan kemana”.
Lain lagi dengan ibu saya yang tak tahu TOEFL itu apa, essay itu apa, Master by research itu apa, bagaimana proses pendaftarannya,tetapi selalu mendukung penuh anaknya meraih beasiswa Oversea. Namun suatu hari beliau mengetuk kembali ketakutan yang pura-pura saya pendam. Tiba-tiba tercetus kata-kata ibu, “Masuk angin aja nangis, kayak gitu mau ke luar negeri”. Saya hanya tertawa, bukan hinaan atau cemoohan yang ibu lontarkan sebenarnya. Tapi sebuah ketakutan dan kekhawatiran dibalik dukungannya yang luar biasa. Rupanya ibu juga pandai menyembunyikan ketakutan itu. Seharusnya saya menambahkan judul di artikel ini menjadi “Ibu dan Pemburu Beasiswa yang Penakut”. LOL... Tapi saya selalu ingat, Kenyataan itu tidak lebih buruk dari bayangan.
Diri sayapun merasa puas setelah saya benar-benar berhasil menyatakan siapakah seorang penakut di artikel ini. Menyindir diri sendiri terkadang menjadi cara terbaik untuk memotivasi diri. Inilah yang sedang saya rasakan, “Less Motivated”. Jika anda mempunyai cerita yang sama dengan saya, bersiaplah untuk termotivasi bukan tersindir. Thanks for reading :)




6 komentar:

  1. Menarik Mba, rasanya ada garis merah yang hilang...setidaknya komunikasi dan bergaul dengan siapa sehingga mengurangi takut 50 %

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih sudah menyempatkan membaca :)
      Saya rasa harus sharing langsung dengan alumni peraih beasiswa..

      Hapus
  2. Ya, Mba ...ternyata ternyata kita perlu banyak tukar fikiran dengan orang yg befikir positif dan berpengalaman di bidangnya...dan jangan hiraukan meteka yg pesimis Dan tidak pernah mau mencoba...? ..hayoo nulis lagi Mba ..saya tunggu

    BalasHapus
  3. Iya, insyllaah tidak.. walaupun kadang saya juga psimis. wah jadi mas mau subcribe baca tulisan aku nih... makasi makasi :D

    BalasHapus