FAQs of Scholarship

For Newbie of Scholarship Hunt

Have you ever been aided when you are in trouble? FAQs is a media of the kindest ones who aid you with pleasure. FAQs trully aid either the new comers or some people who havent got clear information in scholarship hunt. Most people often see it at some social media, websites, and blogs link to scholarship, but they expressly skip what FAQs is and what for FAQs is?

FAQs stands for Frequently Asked Questions. You definitely know it’s meaning in Bahasa. FAQs is commonly used to get and giveinformation in particular matters through the answering and questioning lists. Sometime, some people do not need to quest anymore because their proposed questions have fit in with the former questions. Thus, the answering and questioning media like FAQs intensely facilitate the people in hunting some information. Here is the FAQs of mine as a new scholarship hunter, which have ever been quested to several people, experts, members of mailing lists, and even officer of related scholarship. It may be useful for the readers who come by my blog, Everything at Once “The Inspiration of Young Generation”. Have a nice reading :)

è                              FAQs of Australia Awards Scholarship (2015 and 2016 intake)

Q           : (3 Juni 2014)

    Oke thanks a lot for ur inform, oya Mr maaf mau tanya lagi.. saya sudah test ITP ada listening, structure, n reading. Sedangkan di application form nya ada 4 skill yang harus diisi, apakah ITP tidak diperlukan? Ataukah saya harus test IELTS?

A           : Sesuai ITP saja, mereka tahu itu. Nilai structure diisikan pada kolom writing, sedangkan speaking dikosongkan saja.

           Q            : (19 Juni 2014)

             Hello, saya Eka, saya berencana mengusulkan Gender Equality Course di Flinders University pada master degree saya. Di application letter AAS, terdapat satu course dari dua universitas berbeda. Sedangkan, di CRICOS, Gender Equality hanya ada di Flinders University saja. Bagaimana langkah saya untuk mengisi alternative institution pada form AAS tersebut? Terimakasih.

A           : Hi Echa, kosongkan saja bagian alternative institution nya, it’s no matter.

Q           : (19 Juni 2014)

              Hello, mohon pencerahannya.. dokumen optional itu disertakan bersama pengiriman essential document atau ngirimnya setelah tahap berkas saja ya? Terimakasih sebelumnya J

A           : Disertakan pada saat mengikuti interview atau setelah lulus tahap berkas. Tapi, jika ingin dikirim bersama dengan essential document juga lebih baik, mereka akan mengerti kesiapan berkas kita.

Q           : (23 Juni 2014)

                Om Swasti Astu Mr. Saya Eka, fresh graduate dari Lampung. saya sudah download video referensi dari Mr tentang AAS 2012/2013. Untuk pengisian supporting statement di form tahun ini harus menyertakan approximately 400 kata/pertanyaan. Dalam space yang tersedia, sudah saya coba masukkan tapi tidak cukup. Jika saya attach page, apakah akan berpengaruh atau tidak Mr? Mohon pencerahannya.

A           : Tidak apa-apa, tidak ada masalah.

Q           : (30 Juni 2014)

                Salam, saya ingin bertanya apakah saya harus silang atau kosongkan saja N/A pada kolom checklist jika documentnya tidak saya sertakan? Terimakasih

A           : Kosongkan saja, N/A adalah Not Applicable, bukan Not Available.

Q           : (18 Februari 2015)

                 Dear milisters, saya ingin bertanya, Indonesia applicant harus mellaui OASIS bukan? Saya masih bingung, apa maksud “Please complete additional form before uploading onto OASIS?”, Apakah additional form yang sudah saya lengkapi tersebut saya upload atau saya post kan ke Aus awards office? Mohon bantuannya, terimakasih.

A           : Hi Echa, saya bantu ya... additional form versi word diisi komplit, di-PDF-kan, kemudian diupload ke OASIS bareng dengan dokumen pendukung lainnya (Ijazah,dkk).

Q           : (18 Februari 2015)

                Salam, apakah document scan yang diupload itu akan diminta originalnya setelah lolos tahap pertama? Saya sudah apply kedua kalinya ini, jadi saya ingin memakai scan TOEFL ITP saya tahun kemaren, sedangkan yang asli sudah saya kirim di aplikasi tahun lalu. Terimakasih banyak.

A           : Saran saya sih lebih baik mengambil test TOEFL ITP yang baru lagi. Kalau nanti diminta asli, ya tinggal minta original copy dari instansi yang mengeluarkannya. Ga usah berpikir rumit. Setau saya, tidak ada kewajiban untuk menunjukkan dokumen asli, apapun itu, dalam semua tahapan seleksi AAS. Khusus untuk sertifikat English Profeciency, itu hanya menjadi saringan bagi para pelamar saja. Misal, yang nilai overall IELTS-nya di bawah 5.0 akan digugurkan. Yang lolos, tentunya syarat laen juga lolos, lanjut ke tes berikutnya. Nah, di tes berikutnya kan semua pelamar atau calon awardee akan dites IELTS lagi. Jadi hasil tes IELTS atau ITP yang sebelumnya diperoleh untuk apply AAS ga kepake lagi.

Q           : (28 Februari 2015)

                   Dear milisters, saya Eka, sorry.. saya ingin bertanya. Di aplikasi beasiswa AAS terdapat dua proposed universities bukan? Nah, karna saya ingin mengambil Master by Research, apakah saya harus mencari calon supervisor di dua univ tersebut? Atau boleh hanya salah satunya saja? Terimakasih.

A           : Satu calon supervisor saja sudah cukup.

Q           : (28 Februari 2015)

              Salam, saya ingin bertanya apakah spouse tetapi masih “engage” boleh ikut jika lolos beasiswa AAS?

A           : Kalau masih statusnya tunangan tidak dapat ikut serta.

A Hidden Fact

Pemburu Beasiswa yang Penakut

Pernahkah anda membaca cerita-cerita penerima beasiswa Oversea (Luar Negeri) yang membanggakan? Ataukah sekedar cerita kekecewaan pemburu beasiswa yang berkali-kali gagal? Atau mungkin saja cerita pemburu baru yang belum berpengalaman? Sekarang, saatnya anda tersesat dalam cerita saya yang membongkar habis seorang penakut yang ingin menjadi pahlawan dengan tombak di tangannya. Terdengar ngeri, tapi cukup mengundang tawa kecil dengan kata “penakut”.

Tak heran memang, jika suatu saat anda melihat seorang demonstran yang menggebu-gebu menentang Ahok, tapi berada di barisan paling belakang. Atau seorang aktivis media sosial yang menulis banyak hinaan tapi menangis di pengadilan saat dilaporkan Pak Jokowi. Ada lagi yang sengaja mencantumkan “anonymous” saat ikut-ikutan membuat meme untuk Haji Lulung. Karakter-karakter yang selayaknya dianggap berkarakteristik gentle, tapi spontan di luar dugaan.

Tak jauh beda dengan pemburu beasiswa yang penakut. Untuk hal satu ini, saya jelas-jelas berani mencetak tebal kata “penakut” untuk seorang kurang pemberani seperti saya. Bayangan mengambil Master di luar negeri sangatlah mengerikan bagi gadis desa yang tiap hari diam di kamar dan depan televisi itu. Namun, mimpinya yang besar membuatnya berangan-angan menaiki tangga pesawat sambil berkata “Bye Indonesia”, masuk gedung opera di Sydney, berlari-lari riang di atas salju, berdiskusi dengan Dr. Kohler (Supervisor impiannya), menulis dailydiary seperti tulisan salah satu peraih beasiswa AAS, “74 Crown Street, Wollongong, 21 February 2012”. Kelihatannya memang tak semenarik yang orang lain bayangkan, tapi kepuasaan orang terletak pada hal yang berbeda-beda.

Awalnya saya jauh lebih takut dari sekarang. Menurut saya,tingkat ketakutan saya berkurang 35 % dari 85%, jadi tinggal dihitung saja sisa ketakutannya. Yapss, tepat sekali 50%.Entah faktor apa yang dapat menguranginya. Yang jelas, saya rajin membaca cerita Pak Andi di buku beliau “Berguru ke Negeri Kangguru”,  sering juga memikirkan “Akankah terus menjadi guru honorer?”, tak jarang juga membayangkan “Lulusan luar negeri pasti lebih diperhitungkan”.Hal-hal kecil seperti itu terkadang menciptakan energi positif bagi seorang penakut yang bermimpi besar.

Tak jarang juga, teman-teman masih saja ada yang menganggap saya ahli dalam bidang beasiswa dan saudara-saudaranya (TOEFL, Essay, References, dll). Mereka sengaja mencari tahu hal-hal tersebut dengan memulai chat“Apa kabar?” atau sekedar bertanya “lagi ngapain?”, atau ada juga yang langsung to the point. Dan semuanya diakhiri dengan kata-kata “Keep in touch yah..”. Dari situ kadang saya merasa heran, tiba-tiba saya menjadi penasehat amatir dengan julukan “Kakak Senior” oleh teman-teman saya (untungnya bukan kakak pertama). Dari situ kadang saya juga berfikir keras, “apply beasiswa baru mau 3 kali dengan 2 kali telah gagal, test TOEFL juga baru 4 kali ini, bikin essay juga masih kacau balau, reference juga udah ada format yang tersedia” nyatanya saya tidak lebih baik dari anggapannya. Mereka mungkin tidak tahu ketika mereka bertanya blah blah blah tentang beasiswa, atau curhat ketakutannya mencoba test TOEFL, terkadang saya menjawab dengan rasa yang sama seperti mereka. Tetapi saya lebih pandai menyembunyikannya. Terlebih lagi, saya juga sering mengajak siapapun untuk apply beasiswa dan mengikuti test TOEFL  bersama. Dengan alasan supaya saya ada teman di luar negeri jika lolos beasiswa nantinya (bilang aja TAKUT). Secara logika, pemburu beasiswa mana yang tak takut jika pesaingnya bertambah, maka hal paling bodoh adalah saat membuka peluang bagi yang lain dengan cara mengajaknya. Itu artinya, dengan perbandingan awal 1:10 akan menjadi 1:11 jika ada satu orang yang tertarik mendaftar. Hal itu juga akan mempersempit peluang dalam shortlist. Rasa takut menurut logika mungkin saja ada, namun hal yang terbesit dalam diri saya “Kalau udah rizki pasti gak akan kemana”.

Lain lagi dengan ibu saya yang tak tahu TOEFL itu apa, essay itu apa, Master by research itu apa, bagaimana proses pendaftarannya,tetapi selalu mendukung penuh anaknya meraih beasiswa Oversea. Namun suatu hari beliau mengetuk kembali ketakutan yang pura-pura saya pendam. Tiba-tiba tercetus kata-kata ibu, “Masuk angin aja nangis, kayak gitu mau ke luar negeri”. Saya hanya tertawa, bukan hinaan atau cemoohan yang ibu lontarkan sebenarnya. Tapi sebuah ketakutan dan kekhawatiran dibalik dukungannya yang luar biasa. Rupanya ibu juga pandai menyembunyikan ketakutan itu. Seharusnya saya menambahkan judul di artikel ini menjadi “Ibu dan Pemburu Beasiswa yang Penakut”. LOL... Tapi saya selalu ingat, Kenyataan itu tidak lebih buruk dari bayangan.

Diri sayapun merasa puas setelah saya benar-benar berhasil menyatakan siapakah seorang penakut di artikel ini. Menyindir diri sendiri terkadang menjadi cara terbaik untuk memotivasi diri. Inilah yang sedang saya rasakan, “Less Motivated”. Jika anda mempunyai cerita yang sama dengan saya, bersiaplah untuk termotivasi bukan tersindir. Thanks for reading :)

Beasiswa Fulbright 2015 telah dibuka

Mari Berburu Beasiswa Fulbright 2015/2016 ke AS (Master and PhD)!

Pendaftaran beasiswa Fulbright 2015/2016 mulai buka kembali. Ada berbagai jenis tawaran termasuk kriteria pelamar yang dicari. Dua di antara beasiswa yang tersedia adalah Fulbright Master’s Degree Program serta Fulbright PhD Degree Program. Kedua beasiswa tersebut ditujukan kepada calon yang akan mengambil studi S2 atau S3 di Amerika Serikat.

Beasiswa Fulbright merupakan beasiswa penuh yang didanai Pemerintah AS melalui lembaga AMINEF (American Indonesian Exchange Foundation). Program ini satu dari sekian beasiswa di Amerika yang bisa direbut pelamar dari Indonesia.

Fulbright Master’s Degree Program dibuka umum. Siapa saja boleh mendaftar. Namun, lebih disukai mereka yang telah bekerja sebagai dosen atau staf di perguruan tinggi negeri atau swasta. Hal yang sama berlaku untuk Fulbright PhD Degree Program.

Pelamar bisa mendaftar untuk semua bidang studi/keahlian yang ditawarkan di universitas-universitas AS. Pengecualian pada bidang yang menyangkut perawatan pasien, pelatihan medis, atau sekolah kedokteran.

Persyaratan beasiswa Fulbright 2015/2016:
Program master (S2):
1. Sarjana (S1) dengan IPK minimal 3.0 (skala 4.00)
2. Memiliki kualitas kepemimpinan
3. Memahami budaya Indonesia dan internasional dengan baik
4. Komitmen pada bidang studi yang dipilih
5. Kesediaan untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan program Fulbright
6. Minimum skor ITP TOEFL 550, IBT TOEFL 79/80, atau IELTS 6.0 (Tidak berlaku TOEFL prediction atau TOEFL-like)

Program doktor (S3):
1. Bergelar master dengan IPK minimal 3.0 (skala 4.00)
2. Menunjukkan kualitas kepemimpinan
3. Memahami budaya Indonesia dan internasional dengan baik
4. Komitmen yang mendalam pada bidang studi yang dipilih
5. Kesediaan untuk kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan program Fulbright serta mengambil posisi akademis di perguruan tinggi seusai kembali
6. Minimum skor ITP TOEFL 575, IBT TOEFL 90, atau IELTS 6.5 (Tidak berlaku TOEFL prediction atau TOEFL-like)

Dokumen aplikasi (S2/S3):
1. Formulir aplikasi yang diisi lengkap. Termasuk di dalamnya satu halaman tujuan penelitian yang ditulis jelas dan ringkas.
2. Salinan skor ITP TOEFL, IBT TOEFL, atau IELTS (terbaru, kurang dari dua tahun terakhir)
3. Dua surat referensi dari dosen/profesor serta supervisor tempat kerja yang mengenal Anda dengan baik
4. Salinan transkrip akademik (Diterjemahkan ke bahasa Inggris jika memakai bahasa Indonesia atau yang lain)
5. Salinan dokumen identitas (KTP atau paspor)
Pendaftaran:
Lengkapi dokumen aplikasi di atas. Formulir beasiswa S2 bisa diunduh di sini dan S3 di sini. Lalu kirimkan ke alamat berikut:

AMINEF Office
CIMB NIAGA Plaza, 3rd Floor
Jl. Jend. Sudirman Kav. 25
Jakarta 12920

Pendaftaran beasiswa Fulbright 2015/2016 paling lambat 15 April 2015. Aplikasi sudah harus diterima. Bagi yang ingin bertanya bisa melalui email: infofulbright_ind@aminef.or.id. Website: www.aminef.or.id. Selamat mencoba!

- Cited from : http://www.beasiswapascasarjana.com/2014/08/ini-beasiswa-fulbright-20152016-di-as.html#sthash.HXyDF4Z8.dpuf

Whats happened on our curriculum?

?K13 or KTSP

Which one do you lean on, K13 or KTSP? Both of them has several consideration on applying the curriculum in academic purpose. Nowdays, our country is being confused by the alteration of two different academic orientations. Most people argued that K13 has more detail assessment in learning, otherwise KTSP has simpler and unintricate assessment. Eventhough, each of them has their own weaknesses and strengthnesses. Nevertheless, good or bad is not being discussed as arguing them. The unconsistency may be a better thing to reveal.

Amid the contentment of applying KTSP during 6 years long, a newer rival is coming to expel the stable curriculum. It is trained for several reasons on reforming the previous one. It seem reasonable, indeed. Though, the government considered their decision will come new impact and huge expense. It is K13, who come with some complicated assessment for nonexpert educators. Previously, they argued on positive and negative reasons, but they were pushed to do that in any conditions. Eventually, the unsincere feels emerge when doing the duty.

Hence, the training of new curriculum was found in all sample schools all over the city. The government has hard willing to apply and convince to be well applied then. The charge is fully covered for approaching good result. When the curriculum is being changed, all things related to the academic’s necessary would be changed too. Can you imagine how much the cost is. Well, we have no responsibility flustering it. But, it is kind of making useless whether it will be supposed to inexact curriculum at backward. At last, the bad estimation is happened, KTSP is regarded better.

As the fool decision of government, the society twit and convey what being happened. Their objections, pleasure, and pain have been assembled. In one side, they agree on changing with some reasons. On other side, they express the pain on the unconsistency of deciding the curriculum. It is normally occured in democratic country. And it is definitely damaged for the educators who become the subject of learning. All feelings are blended.

Furthermore, seeing that case, actually we able to be a good mediator of it. The weaknesses of KTSP could be covered by the strenghtness of K13 or oppositely. If we observed, K13 has good system on inputing the data of assessment, then in KTSP is none. Otherwise, KTSP has simpler assessment on students’ learning activity, then in K13 is none. All in all,  adopting the inputing system  of K13 on curriculum of KTSP is becoming a better mediated conclusion.      

Confession of A Failure

First Try, First Fail

A life is such a guessing game, unpredictable. When a systematical plan is being drafted, the fact refuses it. When the plan is not systematically being drafted, the fact serves other unexpected things. Those which are said as a life. We, who act as the survivors of life, should professionally consider what happen it will. As I am, a girl who are urging something happens as my wish and pray. Just a simple matter, makes hard space of my life becoming a melancholic plot. I dont know, it is over responding or not. But, I am percepting it as I did, got disappointed.

None would be blamed, none would be corrected. A failure comes to me as I imagined, despite not hoped. I have made my own story, yet I have to end it prudently. When my story started on hunting a scholarship, in that time I experienced the real life.

Trying to compete the destiny on GOOGLE, I gradually browsed some information of overseas scholarship. One and first, I fell in love on one of the offered scholarship. Eventhough, my first destination was in USA, my heart severed on other path. Three month before the due date of scholarship, April 2014, I stepped my first adventure.        

The scholarship which has a previous name Australian Development Scholarship (ADS), changed to Australian Awards Scholarship (AAS) around 2013. The AusAID’s scholarship offers some amazing of covered fees. They are :

• In-Indonesia Pre-Course English;

• In-Indonesia stipend;

• Medical examination and x-ray costs;

• A one-off establishment allowance on arrival;

• Full tuition fees;

• Contribution to living expenses;

• Introductory Academic Program;

• Overseas Student Health Cover for the duration of the Scholarship;

• Supplementary academic support;

• Reunion airfare; and

• Fieldwork allowance–for research and masters by coursework which has a research component where fieldwork is a compulsory component.

As amazing as the fee, I was amazedly extracted to participating it for the first time. Unfortunately, I never yielded the socialization from other ones, even my lecturer whose another persistent direction of applying scholarship. He pushed us on Fulbright Scholarship (the scholarship of USAID). It is reasonable, since he graduated from SIT Graduate Institute of World Learning, in Vermont, USA in 2006. Nevertheless, the neighbor’s field is greener. Australia has less demand of requirement, otherwise it offers huge expenses. That case is appropriate with the eagerness of scholarship hunters generally. And I am included one on that. Some detail of eligibility requirements are following :

1. Eligibility criteria

Australia Awards applicants must meet all eligibility requirements detailed in the Scholarships Policy Handbook. In addition to these basic eligibility requirements, candidates from Indonesia must also meet the following country specific conditions:

• be applying for courses that fall within the areas of development priority (see “Priority fields of Study” above);

• at the time of application, be not older than 42 years of age;

• have a Grade Point Average of at least 2.9 or 2.75 for applicants from the Australian Government Geographic Focus Areas and for applicants from the Targeted Category;

• for Masters applicants - have an English language proficiency of at least 5.0 in IELTS (or 500 in paper-based TOEFL or 61 in internet based TOEFL), and For PhD applicants - have an English language proficiency of at least 6.0 in IELTS (or 530 in paper-based TOEFL or 71 in internet based TOEFL).

• already hold an undergraduate degree, if applying for a Masters;

• already have a Masters, if applying for a Doctorate;

• if applying for a Doctorate, applicants will only be considered who are staff of universities, higher education institutions, research institutes, or else key policy makers and targeted candidates in other agencies associated with Australian Government activities;

• it is highly desirable for Doctorate applicants to have a letter of support from an Australian university for their proposed field of study.

2. Supporting documents

Applicants must submit with their application all of the relevant supporting documents listed in the Scholarships Policy Handbook. Photocopies of certified documents will not be accepted.

Applicants must also provide the following documents to meet the specific requirements for Indonesia:

• copies of birth certificate or equivalent;

• proof citizenship i.e. KTP or your passport personal information pages;

• current Curriculum Vitae;

• official (certified*) post-secondary and tertiary certificates/degrees;

• official (certified*) post-secondary and tertiary transcripts of results;

• current (original) IELTS or TOEFL English language test results (a test result obtained in 2013 or 2014 will be considered current). The TOEFL prediction test is NOT accepted;

• Masters applicants must also attach certified DIII degree certificate/transcript if using DIV or S1 extension certificate/transcript;

• Doctorate applicants must also attach certified S1 degree certificate/transcript;

• academic reference from S2 supervisor for Doctorate candidates; and

• Doctorate and those Masters applicants whose study will include at least fifty percent research must fill the research proposal details on the application form.

Those listed eligibilities are supposed as easier than other ones. Though it is just a notion, come along with the real fact here!

I convinced to my self, all the eligibilities were perceived being eligible for me. Thus, I  incredibly enthused completing the application form. Day by day was passed by, and form by form was filled. Checking is a good deliberation before sending. I did it carefully and continously. Hence, it’s time for being sure to go to Post Office. Shortly, November came, inwhich I had to rechieve the comedown of life. The words “Not Successful” was haunting me all the time. It was accepted with some query thought. What was missed thing in my application form? I recalled the point one by one. Though my TOEFL and GPA were eligible, I considered some failed points :

• I am a fresh graduate

• I am still green in job experiences

• My essay need to be furnished

• I still have little achievement

From the confession, I tried to create and complete those points by :

• Developing my human resource in academic

• Specifying the specific point on my further essay

• Increasing the achievements on authoring book, following essay contest, and participating the conference.

Next application is wished to attain through those efforts. If my inbox rechieve the words  “Not Successful” for twice, I will do the same thing more. Wish me luck then. 

(Written on Friday at 21:49, December 26, 2014)